Akibat Enggak Dengerin Apa Kata Mama


Copyright: weheartit

Entah kenapa, tiba-tiba gue jadi ingin menulis semua tentang masa kecil gue. kenangan-kenangan belasan tahun lalu itu tiba-tiba muncul bersama dengan rasa rindu yang begitu kuat. Layaknya tanah kering di musim kemarau yang tiba-tiba disiram air hujan, membawa aroma petrichor yang membuat nyaman.

Bicara soal masa kecil, kakak pertama dan kedua gue saat itu sudah dewasa. Saat itu mereka berdua sudah merantau, dan tinggal lah kami bertiga di rumah. Kakak ketiga gue bernama Adi. Gue cukup dekat dengan dia, tapi tidak terlalu dekat karena selisih usia kami yang terpaut lumayan jauh, dan juga dia orang yang sibuk. Dia nggak senyebelin Kakak gue yang bernama Rahmad, itu lah kenapa, Kak Adi pernah sempat menjadi kakak kesayangan gue.

Sebagai anak yang paling kecil, gue sering menjadi bahan rebutan mereka di rumah. Pernah waktu itu tangan kiri gue ditarik Kak Adi, dan tangan kanan gue ditarik Kak Rahmad –atau kebalikannya. Entah apa yang terjadi waktu itu, yang jelas gue nangis karena salah satu lengan gue keseleo, gara-gara ditarik. Kemudian mama datang dan segera memeluk gue, lalu  tangan gue diurut sama beliau, dan simsalabim, tangan gue enggak sakit lagi.

Walaupun mereka sering menjadikan gue sebagai korban kejahatan mereka, tetapi gue gak pernah berhenti mau main sama mereka. Pernah suatu hari, salah satu Om gue jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit. Ayah mengajak kami semua untuk menjenguk Om. Dan seperti biasa, pesan mama selalu: “Jangan nakal ya”, yang seperti biasa juga, gak akan didengerin.

Karen bosan hanya duduk di kamar pasien, sedang orang-orang dewasa pada ngobrol, kami pun memutuskan untuk ke luar ruangan. Entah Kak Adi atau Kak Rahmad duluan, yang jelas waktu itu salah satu di antara mereka menemukan sebuah ruangan kosong yang berisi berbagai macam peralatan medis, termasuk kursi roda.

Mereka mengajak gue masuk untuk melihat-lihat. Ruangan tersebut lebih mirip seperti gudang, karena gelap, tetapi semua barang-barang yang ada di sana terata rapi.
Kak Adi kemudian mengambil kursi roda yang ada di pojokan ruangan. Dia duduk dan memaksa gue untuk ikut dipangku. Sedangkan Kak Rahmad, dia yang mendorong. Kami semua tertawa kala itu, sampai pada akhirnya ada yang salah, dan menyebabkan gue yang jadi enggak bisa jalan.

Masih gue ingat dengan baik, bahkan sampai rasa sakitnya. Entah apa yang menyebabkan gue yang tiba-tiba enggak bisa duduk, apalagi berdiri. Mungkin usia gue sekitar 4 tahun. Gue menangis terus menerus karena enggak tahan sama rasa sakitnya, seperti ada yang salah dengan tulang ekor gue.

Ayah dan mama segera membawa gue ke dokter anak, dan katanya semua normal, enggak ada apa-apa. Sampai akhirnya mama enggak tega, tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk membawa gue pulang.

Sempat bingung harus ngapain, karena kata dokter semuanya normal, tetapi gue enggak berhenti nangis, akhirnya mama dan ayah membawa gue ke salah satu tukang urut anak. Percaya atau enggak, setelah pulang dari situ kata mama, gue udah nggak rewel lagi, dan udah bisa duduk. Sampai pada akhirnya semua normal kembali. Dan lagi-lagi, kedua kakak gue dimarahin karena enggak menjaga gue dengan baik. Iya, mereka emang bandel sih. Huh!


Gue sangat merindukan rumah masa kecil gue. Terletak di tengah jantung sebuah kota, tepat di jalan Jenderal Sudirman. Siapapun yang main ke rumah, pasti akan merasa nyaman.

Rumah itu dulunya berarsitektur Belanda, dengan 3 kamar, dan ada paviliunnya. Halaman depannya juga sangat luas, dan ditumbuhi oleh rumput Jepang, kesukaan mama. Di samping kanan rumah terdapat sebuah pohon jambu air. Di teras rumah juga terdapat berbagai macam tanaman dengan pot-pot besar.

Mama memang suka tanaman, bahkan di dalam rumah pun di sisi kiri dan kanannya ada tanaman yang menjuntai –gue lupa namanya–yang setiap pagi daunnya disemprot air dan dielapin mama dengan sabarnya. Tetapi sekarang gue ingin berbicara tentang pohon jambu itu.

Pohon jambu air yang legendaris, terletak di halaman sebelah kanan rumah. Pohonnya cukup tinggi, tapi tidak mengurangi minat anak-anak tetangga belakang rumah yang kadang suka manjat, karena rasa jambunya yang sangat manis.

Siang hari, matahari begitu terik. Gue dan Kak Rahmad duduk di sebuah batu, di bawah pohon. Masih di usia 4 tahun lebih dikit, gue yang waktu itu lagi hobi main masak-masakan, tiba-tiba diajakin dia main masak-masak beneran.

Gue memperhatikan Kak Rahmad yang menyusun batu bata, yang kemudian di tengahnya di isi beberapa ranting dan daun kering. Dia meminta gue untuk mencari kaleng bekas, dan gue menuruti.

Setelah semuanya komplit, dia mengeluarkan sebuah korek dari saku celananya. Kemudian dia mencoba untuk menghidupkan daun dan ranting tersebut, tetapi usahanya sia-sia.

Gue masih duduk di bawah pohon, memperhatikan dia. Lewat pintu depan dia masuk ke dalam rumah berniat mau mengambil sedikit minyak tanah, tapi enggak jadi karena ketahuan mama. Dia pun keluar, dan kembali duduk di samping gue.

“kata mama gak boleh main api”, ucap gue, dia mendengus. Tak ingin usahanya sia-sia, dia memutuskan untuk mengambil minyak tanah yang ada di dapur secara diam-diam, lewat pintu belakang.

Dia melompati selokan air–yang ada di samping hingga belakang rumah–lalu masuk lewat jendela, karena ternyata pintu belakang dikunci. Sedangkan saat itu mama sedang ada tamu, jadi tidak terlalu memperhatikan. Dan juga jarak antara ruang tamu dan dapur cukup jauh.

Gue masih duduk dengan manis, menunggu seorang kakak yang sepertinya sangat ingin menunjukkan sesuatu kepada adiknya. Dia kembali dengan membawa setengah gelas plastik berisi minyak tanah.

Dengan tidak sabar dia menuang minyak tersebut ke atas ranting, lalu menghidupkan api dengan korek yang tergeletak di sebelah batu bata, pertanda eksperimennya akan dimulai.

Ketika api sudah berhasil menyala, dia segera berdiri agak menjauh. Gue masih duduk memperhatikan, entah kenapa gue enggan mendekat. Dia kemudian mengambil gelas yang masih tersisa minyak tanah, dan berniat untuk menuangkannya lagi. Namun sayangnya, minyak itu malah tumpah di samping celananya dan berakhir dengan dia yang pahanya tersulut api.

Kejadian itu begitu cepat. Gue teriak ketakutan, lalu karena panik, dia jatuh ke saluran air. Mama dan tamunya segera keluar, dan gue pun nangis. Tamu mama kala itu segera mengangkat dia dari bawah, dan mama segera membawanya ke rumah sakit.

Kejadian itu mungkin akan menjadi pelajaran yang paling berharga bagi Kakak gue, dan juga pengalaman yang cukup mengerikan bagi gue. Luka bakarnya kala itu cukup parah, tetapi untungnya ada seorang kenalan teman mama yang akhirnya menyembuhkannya, sampai tidak ada bekasnya lagi.


Dan seperti biasa, ketika anak-anaknya habis melakukan kesalahan yang sebelumnya sudah diperingatkan, mama pasti selalu bilang:

“Makanya dengerin apa kata mama!”


Hehe, we love you mama! 

Share:

0 komentar