Kebebasan Media Sosial Dulu dan Sekarang

Copyright: weheartit

Sebagai orang yang lahir di pertengahan tahun 90an, serta tumbuh dan berkembang di tahun 2000-an, mungkin gue merupakan generasi keduanya. Gue mengingat-ingat apa yang pernah gue lakukan di masa-masa pubertas, dan siapa saja yang pernah gue idolakan. 

Mungkin gue termasuk orang yang beruntung, karena di masa-masa pertumbuhan gue tidak mengidolakan orang-orang yang salah. Walaupun pada waktu itu orang-orang di sekitar gue sangat tidak menyukai akan hal-hal yang gue lakukan. Tapi, ada satu hal yang bisa membuat mereka akhirnya mengerti, karena apa yang gue idolakan waktu itu bisa mengantarkan gue ke salah satu Universitas terbaik di Indonesia, berhubungan dengan jurusan yang gue inginkan. Walaupun entah lulusnya kapan.

Sejak berada di sekolah dasar, gue sudah mengenal apa itu internet, yang dulu hanya gue gunakan untuk browsing tentang profile orang-orang tertentu. Sampai pada akhirnya gue mengenal media sosial yaitu friendster, Plurk, dan mySpace. Sama halnya dengan dedek-dedek sekarang yang main media sosial instagram dan lain-lain. Bedanya, zaman gue waktu itu enggak ada orang-orang di media sosial yang bisa diidolain. 

Mungkin karena kecanggihan teknologi yang menyebabkan perubahan itu semua, karena di zaman gue belum ada smartphone dan barang pendukung lainnya seperti kamera, dan sebagainya. Gue hanya menggunakan Personal Computer, dengan internet terbatas yang berasal dari kabel telpon rumah yang dicolok ke CPU. Selain itu, juga karena kebijakan nyokap gue yang baru memberikan gue smartphone ketika gue masuk SMA. Di usia gue yang sudah remaja, beliau baru merasa gue dapat dipercaya untuk dapat menggunakan fasilitas yang diberikan dengan sebijak-bijaknya. 


Dibutuhkannya Kebijakan Orangtua

Menurut gue, memberikan gadget kepada anak di usia dini, sama bahayanya dengan membiarkan anak membawa motor saat usianya masih belum mencukupi. Karena kedua hal tersebut sangat berbahaya, dan hanya bisa dihindari atas kebijakan orangtua. 

Banyak kita jumpai orangtua-orangtua yang membiarkan anaknya (bahkan mendukung), untuk bisa mengendarai motor saat usianya belum mencukupi. Gue sendiri sudah bisa mengendarai motor sejak kelas 5 SD, dan orangtua gue baru menyesal ketika gue akhirnya tepar di tengah jalan satu tahun kemudian. 

Penyesalan itu datang terlambat, karena kepala gue sudah terlanjur membentur aspal duluan. Setelah itu, nyokap baru memberikan kebijakan, yaitu gue benar-benar belum boleh mengendarai motor sebelum mendapatkan SIM. 

Hal ini mirip tetapi sedikit berbeda dengan penggunaan internet dan media sosial. Kenapa gue katakan mirip? Karena keduanya sama-sama membutuhkan kebijakan orangtua, sebelum semuanya terlambat. Yang membedakan hanya pada SIM. Orangtua yang baru membolehkan anaknya mengendarai motor setelah memiliki SIM, sama bijaknya dengan orangtua yang membiarkan anaknya bermedia sosial di waktu yang tepat, ketika mereka memang sudah benar-benar bisa bertanggung jawab.

Sudah menjadi rahasia umum jika saat ini para orangtua mengajarkan anak mereka bagaimana caranya membuka video di youtube, yang lambat laun membuat si anak jadi semakin tau, bahkan menjadi lebih pandai dari para orangtuanya. Hasilnya? Banyak anak-anak yang berada di luar jalur tanpa sepengetahuan orangtua mereka.
Gue tidak benar-benar melakukan riset dengan menyebarkan kuisioner kepada para orangtua. Dan juga, gue belum punya anak. Tulisan ini benar-benar murni berdasarkan pengalaman dan opini pribadi, serta pengamatan gue terhadap lingkungan sekitar.  

Melihat fenomena awkarin dan remaja-remaja yang serupa dengan dia, gue jadi teringat akan seorang remaja yang dulu pernah tinggal di bagian depan kos lama gue. Gue biasa memanggil namanya dengan sebutan ‘kakak’. Kakak merupakan anak pertama dari sebuah keluarga kecil. Kakak masih kelas satu SMP,  lahir dan besar di Jakarta, serta baru setahun ini dia pindah ke Jogja. Gue agak heran dengan kakak, karena dia begitu kalem dan tertutup. Beda banget sama temen-temen dan sodara-sodara gue di Jakarta, yang gaul dan trendi abis.

Gue cukup dekat dengan Ibunya si Kakak, dan juga adiknya. Beberapa kali gue suka nanya-nanya soal parenting ke Ibunya, terutama soal penggunaan media sosial untuk kakak, dan cukup menarik. 

Di usia kakak yang baru 13 tahun, ternyata sang Ibu cukup bijak dalam mengawasi penggunaan smartphone dan media sosial. Kakak sudah mempunyai smartphone dan tablet, sama seperti remaja lainnya. Bedanya, kakak baru boleh menyentuh benda-benda tersebut pada hari sabtu dan minggu, atau tanggal merah. Selain hari tersebut, gadgetnya akan disimpan oleh ibunya. 

Selain itu tanpa sepengetahuan kakak, media sosialnya juga selalu diawasi oleh ibunya, karena kakak cukup aktif di instagram. Menurut ibunya, apa yang ia lakukan adalah sebagai bentuk “penjagaan” terhadap anak mereka. Sang Ibu enggan membiarkan anak gadis mereka jatuh ke “jurang” media sosial. 

Hal ini awalnya membuat gue cukup mengernyitkan dahi. Karena bagi gue apa yang dilakukan si Ibu cukup menganggu, saat gue memposisikan diri sebagai kakak. Tapi ketika gue memposisikan diri sebagai seorang Ibu, gue pun enggan kalau anak-anak gue menjadi enggak tau norma dan aturan seperti awkarin, dan para pengikutnya yang serupa. 


Kebebasan Yang Disalah Artikan

Seperti yang kita ketahui, banyak anak-anak yang saat ini sudah memiliki gadget pribadi, entah itu smartphone atau tablet. Sampai-sampai kemarin ada video anak kecil kelas 5 SD yang viral di twitter karena sudah punya Vlog, dan kebetulan dia mengidolakan awkarin. 

Gue masih mencoba memahami akan perbedaan pada generasi gue dan generasi sekarang. Enggak ada yang salah dengan kultur budaya asing, karena Indonesia termasuk negara yang bisa menyerap budaya manapun. Buktinya di Indonesia enggak cuma ada anak remaja yang kebarat-baratan, tetapi juga sudah banyak anak-anak remaja Indonesia yang ke-korea-an. 

Entah budaya Indonesia yang kurang menarik, atau memang kebudayaan asing yang lebih menarik, gue pun bingung. Enggak ada yang salah dengan kebudayaan-kebudayaan yang masuk tersebut, karena itu merupakan pertanda bahwa Indonesia memiliki masyarakat yang pemikirannya terbuka. Yang perlu diperbaiki hanyalah adanya kebijkan-kebijakan yang dapat mengedukasi anak-anak usia remaja. Karena kita tau, pada masa-masa itu adalah masa usia yang entah nanti mau ke mana dan mau jadi apa. 

Hal ini tentunya diperlukan dukungan dan kerjasama semua orang, terutama orangtua. Banyak faktor yang dapat menentukan anak mau jadi apa, terutama faktor keluarga dan lingkungan. 

Enggak ada yang beda dengan kehidupan bebas anak-anak zaman orangtua gue, gue, dan zaman sekarang. Semuanya sama aja. Seperti yang pernah gue bilang di tulisan ini, kenalakan seperti yang dilakukan awkarin bukan lagi hal yang baru. Karena gue yakin, sejak zaman orangtua gue dulu juga pasti banyak remaja-remaja yang berperilaku sama. 

Yang membedakan zaman dulu dan sekarang hanyalah ruang berekspresi. Zaman dulu orang-orang akan merasa malu jika melakukan hal-hal yang melanggar norma, berbeda dengan sekarang.  Saat ini, semakin hari para remaja semakin berani untuk memamerkan hal-hal intim yang sebenarnya enggak layak untuk dijadikan konsumsi publik. Mereka mengemasnya dengan apik, sehingga banyak membuat generasi-generasi di bawah mereka tertarik. 

Gue enggak tau, apa yang menyebabkan remaja-remaja Indonesia saat ini menjadi vulgar. Gue sama sekali enggak mau menyalahkan teknologi, karena teknologi diciptakan untuk memudahkan kita, bukan untuk menghancurkan kita. Hal-hal yang dilakukan remaja saat ini menurut gue adalah karena kebebasan yang sudah disalah artikan. Maka dari itu, kebijakan dan kesepakatan antara anak dan orangtua saat ini memang sangat diperlukan. Bagaimana menurut kalian?

Share:

6 komentar

  1. Ortu emang kudu ngikutin perkembangan teknologi jg ya mbak, spy bisa ngawasin anaknya... TFS :)

    keluargahamsa(dot)com

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kak aprillia, bener banget. pengawasan penggunaan internet pada remaja ternyata memang penting banget.
      sama-sama kak lia, terimakasih juga sudah mampir. :)


      nuruliiu

      Hapus
  2. Kak nuruliu nama priendsternya apa? Minta dongs. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. immank_ajach. jangan lupa di-add ya. thx. :)

      Hapus
  3. Orangtua memang wajib memantau anak-anaknya, sekaligus memberi contoh yang baik. Bagaimanapun pada kesalahan yang dilakukan sang anak ada peran ortu disitu, bukan begitu? Apalagi zaman sekarang, pengaruh lingkungan sangat kuat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju kak. Orangtua memang wajib mendampingi anaknya di dunia nyata ataupun dunia maya. Makasih udah mampir! ;)

      Hapus