Ayah dan Kopi




Copyright: weheartit


Seperti manusia lainnya, ayah juga memiliki sesuatu yang disukainya, yaitu kopi. Setiap pagi sebelum ayah berangkat kerja, mama selalu menyediakan secangkir kopi untuk ayah. Secangkir kopi itu biasa dinikmati ayah dengan satu atau dua potong kue bolu sambil membaca koran. Ayah baru akan memulai aktivitasnya jika sudah menyesap kopinya sampai habis.  

Lucunya, kelima anak ayah tidak ada yang memiliki kebiasaan yang sama dengan beliau. Kami semua lebih mengikuti kebiasaan mama yang selalu minum air putih. Minum teh saja jarang, kacuali saat-saat tertentu. Bukan karena teh barang yang mewah, tetapi mama bilang air putih itu jauh lebih sehat daripada minuman apapun. 
Kecintaan ayah terhadap kopi baru kusadari akhir-akhir ini. Ketika aku mengingat masa lalu, di mana ayah lebih suka jika dirinya disebut petani daripada seorang insinyur.

Ayah bukan seorang petani, tapi aku rasa ia banyak belajar dari sana. Kedua orangtua ayah juga bukan dari keluarga petani. Ayahnya seorang mantri kesehatan sejak zaman Belanda dan Jepang, ibunya seorang ibu rumah tangga, dan kakeknya masih orang belanda. Ayah berasal dari keluarga yang teramat cukup, tapi entah kenapa hatinya bersama orang-orang kecil tersebut, sampai-sampai membuat aku selalu mendambakan sosok seseorang yang seperti ayah. Yang tidak hanya peduli dengan dirinya sendiri. 

Kecintaannya terhadap kopi dibuktikan dengan hampir separuh hidupnya digunakan untuk membantu petani-petani kopi yang ada di Timor-Timur. Setiap tanggal 1-10 ayah selalu di kantor, menandatangani dokumen-dokumen penting, dan tanggal sisanya digunakan untuk berkeliling Timor-Timur. Banyak petani-petani yang terbantu dengan temuan ayah, salah satunya yaitu jamur buatan yang menyelimuti biji kopi, agar biji kopi tidak dimakan ulat yang  sering menyebabkan gagal panen. 

Kedekatannya dengan para petani membuat ayah ikut hidup sederhana. Kami pun diajari demikian. Kami selalu hidup berkecukupan, tapi tak pernah berlebihan. Beliau sangat memanjakan kami, tapi tak pernah lupa untuk mengajarkan kami mandiri. 

Kepergiannya dua belas tahun lalu memukul kami semua, terutama aku. Di usiaku sekarang, aku ingin bisa menikmati secangkir kopi bersamanya. Di teras depan rumah, sambil berbincang-bincang, seperti yang dulu pernah kami lakukan. Jika dulu aku menyesap kopi dari cangkirnya, maka kali ini aku ingin menyesap kopi dari cangkirku sendiri. 

Aku ingin mendiskusikan banyak hal dengannya. Tentang kuliah, pekerjaan, politik, bahkan calon pasangan hidupku, agar ia bisa beristirahat sejenak karena menjagaku. Walaupun kenyataannya aku tak berhasil mewujudkan impian terakhirnya, yaitu melihatku menikah.

Aku beruntung pernah menghabiskan sembilan tahun pertamaku bersamanya, dan aku tetap ingin menjadi kebanggaannya. Semoga ayah selalu bahagia di sana.  

Share:

0 komentar