Memanusiakan Manusia



 
Entah kenapa saya tiba-tiba teringat akan suatu kejadian yang saya alami lebih dari sepuluh tahun lalu. Waktu itu saya dan keluarga sedang dalam perjalanan ke rumah almarhum kakek. Entah karena ada acara, atau apa gitu, saya lupa. Jarak tempuh dari rumah ke rumah kakek kira-kira memakan waktu sekitar 3 jam. Rumah kakek berada di salah satu desa kecil, di mana dulu pasar saja hanya ada setiap hari kamis. Saya pernah menghabiskan waktu satu tahun tinggal dan sekolah di sana saat kebetulan ayah pindah tugas. Lalu setelah ayah meninggal, saya dan mama kembali tinggal di rumah sebelumnya yang berada di kota. 

Di perjalanan kurang lebih sekitar 45 menit sebelum sampai, mobil kami tiba-tiba bannya pecah. Om yang waktu itu mengemudi segera menepikan mobil. Saat kami turun, ada beberapa warga sekitar yang menghampiri berniat untuk memberikan pertolongan. Warga desa itu ramah-ramah sekali, kami para penumpang bahkan ditawari untuk berteduh dulu selagi ban mobil diganti. 

Beberapa di antar mereka kemudian bertanya ke mana tujuan kami, dan ke tempat siapa. Setelah tante memberi tau kalau kami mau ke rumah kakek, orang-orang itu terkejut. Mereka ternyata mengenal siapa kakek, padahal jarak antara rumah kakek dan desa ini lumayan jauh. 

Mereka bercerita bagaimana mereka bisa mengenal kakek, bahkan memuji-muji beliau. Saya yang waktu itu masih kecil tentu hanya bisa mendengarkan saja. Mendengarkan pujian orang-orang terhadap kakek merupakan hal yang biasa saya dengar, terutama ketika saya menghabiskan waktu setahun tinggal di sana. Orang-orang sana begitu menghargai dan menghormati beliau, bahkan ketika beliau sudah puluhan tahun meninggal. 

Saat ini saya dan keluarga besar tidak ada yang tinggal di rumah kakek. Rumah besar itu sekarang dihuni oleh sebuah keluarga secara cuma-cuma. Kami tidak ada yang bisa merawat rumah besar itu, jadi om dan tante memustuskan untuk membiarkan orang lain tinggal di sana asalkan rumah itu dirawat. 

Sampai saat ini jika kami pulang ke sana, tetangga-tetangga sekitar tak akan ada habisnya datang berkunjung. Beberapa di antara mereka bahkan sampai rela menginap, menemani para om-om untuk ngopi dan ngobrol ngalur-ngidul sampai pagi. Keesokan paginya kami juga tak perlu takut kelaparan, karena makanan sudah tersedia di meja. Makanan yang dimasak oleh para tetangga bahkan tanpa diminta. Sungguh luar biasa!
Hal-hal baik di atas tentu tak pernah datang tanpa sebab. Semua mereka lakukan dengan senang hati, mengingat apa yang telah kakek kami lakukan puluhan tahun lalu. 

Saya tak pernah ingat bagaimana wajah kakek dan nenek. Mereka meninggal di saat saya masih berusia dua tahun, namun saya masih bisa begitu mengenal mereka berkat cerita orang-orang. Yang saya tau, kakek merupakan orang yang baik dan bijaksana. Beliau merupakan seorang mantri (tenaga medis setara dokter) yang di masa itu tak pernah lelah untuk menolong sesama. Banyak warga sekitar yang suka datang pada beliau, baik untuk meminta pertolongan secara medis maupun finansial. 

Saya teringat sebuah kisah yang diceritakan oleh salah seorang wanita tua. Waktu itu anaknya sakit demam berdarah, namun ia tak kunjung mengantarkan anaknya berobat karena alasan finansial. Sampai suatu ketika kakek tau, dan dan memaksa mereka untuk datang ke tempatnya. Ia bahkan ingat kalau waktu itu kakek memarahinya karena ia tak segera membawa anaknya ke dokter. 

Selain itu, masih banyak cerita lainnya yang berulang kali terus diceritakan oleh orang-orang. Cerita-cerita manis tentang kebaikan seorang kakek yang kemudian buah dari kebaikannya itu dirasakan juga oleh anak-anak dan cucunya. Kami para cucu selalu mendapatkan perlakuan yang spesial dari orang-orang ini, padahal kami tak pernah melakukan apapun untuk mereka. Semua karena kakek kami, yang selalu memanusiakan manusia. 

Kakek tak pernah memandang siapa orang itu, apa agamanya, apa sukunya, untuk menolong mereka. Beliau dengan senang hati menolong siapapun yang membutuhkan pertolongannya. Hal yang sepertinya saat ini sulit untuk kita lakukan. 

Saat ini banyak manusia yang enggan berinteraksi dengan manusia lainnya hanya karena perbedaan agama, bahkan karena perbedaan pandangan politik. Saat ini banyak manusia yang enggan memanusiakan sesama manusia; manusia yang enggan menggunakan akal sehat demi memuaskan egonya. Mereka teriak-teriak ingin membunuh orang lain, yang entah bersalah atau tidak, mereka tak peduli. 

Dan saya tentu tak ingin menjadi bagian dari mereka. Saya ingin menjadi manusia yang bisa menghormati, menghargai, juga bisa mengasihi orang lain. Saya tak ingin menjadi ahli surga, saya hanya ingin menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia. Sama seperti apa yang kakek saya lakukan. 


Share:

0 komentar